Sabtu, 02 Maret 2013

Barang Milikku Yang Paling Berharga Adalah Kamu

Aku sangat menyukai ucapan
mama : “Barang milikku yang paling berharga adalah kamu!” Ucapan yang sangat menyejukkan hati dan sampai sekarang aku masih mengingatnya…

Papa dan mama menikah karena dijodohkan orang tua,
demikianlah yang dialami para
muda-mudi di zaman itu, tapi hal
ini sudah umum, tapi di zaman
sekarang peristiwa itu sudah
jarang terjadi, kebanyakan adalah
hasil pilihan sendiri. Tapi mama
sangat mencintai papa, demikian
juga dengan papa dan tampak selalu
mesra, akur bagaikan pasangan
cinta sejoli.
Sangat sulit dibayangkan bahwa
pernikahan mereka pernah diterjang
badai! Badai itu nyaris memisahkan
mereka hanya karena emosi sesaat
saja! Papa dan mama bekerja
diinstansi yang sama, oleh karena
itu setiap hari berangkat dan pulang
bersama.

Suatu hari mereka kerja lembur,
mengadakan stock
opname di gudang, hingga pukul
02.00 dinihari dan baru pulang
kerumah. Papa sangat letih dan
lapar,
sampai dirumah tidak ada makanan
maupun minuman yang siap disaji.
Papa yang lapar minta mama untuk
menyiapkan makanan dan minuman.

Beberapa hari belakangan ini emosi
mama memang tidak stabil,
ditambah lagi dengan adanya
lembur, badan dan pikiran sungguh
melelahkan, sehigga dengan kondisi
yang labil itu, mama spontan
menjawab dengan nada keras, ”mau
makan dan minum, memangnya
tidak bisa masak sendiri? Apa tidak
punya tangan dan kaki lagi, ya?”
Karena papa juga terlalu capek, dan
langsung menjawab dengan acuh tak
acuh, “kamu ini isteriku,
memasak adalah sudah menjadi
kewajibanmu!”
Mama langsung merespon, “tengah
malam begini mau masak apa?
Sudah lewat waktunya makan, orang
laki seharusnya lebih kuat dari pada
perempuan!”

Mendengar itu, marahlah papa,
beliau langsung berteriak dengan
emosi, “kamu salah makan obat
apa kemarin? Mau sengaja cari
ribut, ya? Istri memasak untuk
suami adalah wajar, kenapa harus
tergantung pada waktu? Kamu tidak
senang, ya? Kalau tidak senang,
kamu pergi saja sekarang dari
rumah ini!!!”
Mama tidak menyangka akan
menerima reaksi yg begitu keras.
Setelah terdiam sesaat, mama
kemudian berkata sambil menitikkan
air mata, “kamu ingin aku
pergi……..aku akan pergi sekarang!”

Mama segera kembali
kekamar untuk mengemasi
barang-barangnya. Melihat mama
masuk kamar dan berkemas- kemas,
papa berkata kepada mama yang
membelakanginya, “Bagus! Pergi
sana! Ambil semua barang-
barangmu dan jangan kembali lagi!”

Beberapa saat kemudian suasana
menjadi sunyi senyap, tak ada kata-
kata kebencian lagi yang muncul,
menit demi menit berlalu, tapi
mama tetap tak kunjung keluar dari
kamar. Merasakan keanehan itu,
papa kemudian menyusul masuk
kamar dan melihat mama sedang
duduk diranjang penuh dengan
linangan air mata.
Sambil menatap koper kulit besar
yang masih tergeletak diatas
ranjang. Melihat papa datang,
dengan terisak-isak mama berkata,
“duduklah diatas koper kulit itu,
supaya aku boleh mengenang masa-
masa perpisahan kita yang terakhir.”

Merasa aneh, maka dengan sendu
papa akhirnya tidak tahan juga
untuk tidak bertanya, ” “untuk apa?”
Sambil menangis dg terputus-putus
mama berkata, “emas dan perak aku
tidak memilikinya, tapi milikku yang
paling berharga adalah kamu!” Kamu
dan anak-anakku,
aku tidak memiliki apapun….”
Meskipun kejadian itu telah lewat
lama sekali, tapi aku masih
mengingatnya terus sampai
sekarang. Apalagi ketika mama
mengucapkan kata-kata terakhir itu,
papa merasa sangat tergoncang,
sejak malam itu, papa telah
diubah dan telah menjadi sangat
hormat dan sayang kepada mama
Menggandeng tangan anak-anak,
merangkul mama serta senantiasa
saling berpelukan. Kelak aku juga
bercita- cita ingin mendapatkan
pasangan yang seperti papa.
Kehidupan apapun yang.kita jalani
ini, itu tidaklah penting; tapi yang
terpenting adalah bagaimana sikap
kita dalam menghadapi hidup ini,
terutama disaat-saat badai itu
muncul."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar