Minggu, 24 Maret 2013

Memaafkan?

Oleh: Samuel Mulia Penulis mode dan gaya hidup

Dalam agenda hidup saya, kata ini lama sekali tak pernah ada. Kala pertama saya hendak memaafkan dengan sungguh- sungguh, susahnya luar biasa.

Ada saja yang menghalangi saya berani melakukan tindakan yang mudah diucapkan dan sulit dilakukan itu, terutama untuk mereka yang pernah menyakiti hidup saya, yang menggosipkan saya bahwa saya tukang gosip hanya karena saya mengucapkan sesuatu dari mulut, sementara.mereka yang menggosipkan saya membicarakan orang di dalam hatinya.

Jadi, yang kelihatan menjadi tukang gosip saya dan mereka yang mengumpat di dalam hati tetap terlihat seperti malaikat.

Pipi kiri dan pipi kanan

Jadi, rencana mulia itu selalu tertunda-tunda, sampai belasan tahun lamanya. Saat saya sudah merasa siap, ada saja.pikiran yang tiba-tiba muncul yang mengatakan mengapa harus memaafkan, lha.wong mereka memang salah kok, mereka memang yang jahat pada.saya, mereka ini dan mereka itu.

Dan, rencana itu senantiasa kandas di tengah jalan. Apalagi kalau mengingat kalimat dalam ajaran agama saya yang mengatakan, orang menampar pipi.kirimu berikanlah juga pipi kananmu.

Wah… itu benar tak.masuk akal untuk saya. Kalau orang mencium pipi kiri saya,.maka saya tak hanya akan.memberikan pipi kanan saya,.tetapi semua area di tubuh saya. Memberikan pipi untuk ditampar?.Ya, mending saya tampar balik dan tak hanya kedua pipinya kalau bisa.

Maka, memaafkan menjadi.sebuah hal yang tak masuk.akal..Terutama meminjam alasan teman.saya yang “bijaksana” yang.senantiasa.mengatakan, “Yah… kita kan manusia biasa, sangat normal kalau kita punya banyak kelemahan dan susah memaafkan.”

Awalnya saya sangat.menyetujui pikiran teman saya itu. Saya ini kan tak sempurna, jadi normal kalau yang tak sempurna menghasilkan sesuatu yang tak sempurna, bukan? Yang tak.normal adalah bila yang.tak sempurna mampu menghasilkan.yang sempurna.

Namun, dengan.berjalannya waktu, setelah dipikir-pikir lagi,.bagaimana teman saya bisa.mengatakan saya manusia yang.punya banyak kelemahan,.termasuk lemah syahwat, tetapi.memiliki kekuatan menghina, mengejek, dan menjelekkan orang?

Saya pikir kalimat yang kelihatan bijaksana dari mulut teman saya itu hanyalah alasan untuk tidak memberi kesempatan.kepada dirinya memanfaatkan kekuatan yang ada pada dirinya sendiri. Atau mungkin ia tak bisa lagi melihat ia punya kekuatan karena seringnya mengatakan manusia.punya kelemahan. Dengan kata.bijaksananya itu ia seperti ingin mengajarkan saya untuk tetap tinggal dalam kelemahan itu.

Pemadam kebakaran

Mengapa saya senantiasa memilih dan merasa nyaman untuk berdiri dan mengaminkan saya punya banyak kelemahan, tetapi tak mau —bukan tak mampu—mencoba memberanikan diri meloncat ke sisi di mana saya punya kekuatan.

Kalau saya punya kekuatan untuk menghina dan menyakiti orang, mengapa saya tak menggunakan kekuatan itu untuk.memaafkan kembali mereka yang telah membuat hidup saya bertahun lamanya seperti neraka?


Coba Anda perhatikan kalimat terakhir yang saya tulis di atas. Mereka yang telah membuat hidup.saya seperti neraka. Sekali lagi, saya masih memilih berdiri di sisi kelemahan saya sehingga saya bisa menuliskan bahwa yang membuat hidup saya sengsara seperti neraka bertahun lamanya adalah mereka yang menyakiti saya.

Mari coba melonca dengan saya ke sisi kekuatan yang ada dalam diri saya. Kalau saja saya bisa berdiri di sisi kekuatan saya, maka saya akan menulis, yang membuat hidup saya sengsara seperti nereka tak lain adalah diri saya.dan bukan mereka.

Namun, saya membiarkan diri saya terus berdiri di sisi kelemahan saya sehingga neraka kebencian itu terus menyala-nyala bertahun lamanya.

Selamatnya saya tak jadi gosong karena terbakar amarah dan ketersinggungan. Saya sekarang baru mau mencoba meloncat ke sisi kekuatan yang ada pada diri saya karena pada sisi yang baru ini saya akan seperti tim pemadam kebakaran yang siap meluncurkan air lewat pipanya yang besar dan dengan kekuatannya yang dahsyat sehingga api yang membakar diharapkan bisa dikalahkan.

Diharapkan, karena.belasan tahun lalu kantor di mana saya bekerja terbakar dan tim pemadam kebakaran.datang dengan pipanya yang besar, tetapi tak punya kekuatan sehingga air yang keluar seperti orang buang air kecil.

Jadi, bila air saya bisa keluar dengan deras, saya tak perlu terbakar begitu lamanya. Karena.air yang memadamkan akan memadamkan pikiran.negatif saya dan saya siap.memaafkan.

Orang lain bisa saja menjadi pencetus.kebakaran, tetapi saya yang.harus bertanya apakah saya ingin mempertahankan kebakaran itu atau tidak. Kalau tidak, maka.sayalah yang harus berperan.sebagai pemadam.kebakaran.dengan mempersiapkan kekuatan.agar airnya tetap bisa kelewi (keluar maksudnya) secara maksimal.

Artinya, saya memang.punya kelemahan, tetapi saya tak bisa hanya berhenti di situ dan merasa nyaman dengan.kelemahan itu.

Saya punya kekuatan, saya.harus.mampu berdiri di sisi yang positif ini. Dan satu hal yang akan saya ingat terus, saya ini anggota pemadam kebakaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar