Saya membaca sebuah berita tentang seorang wanita yang tidak pernah
menangis selama 18 tahun yang disebabkan oleh faktor fisik, bukan
emosional. Para dokter mengatakan bahwa ia menderita suatu penyakit
langka, yakni sindrom Sjogren. Tanpa diketahui sebabnya, antibodi pada
tubuhnya menyerang kelenjar air matanya, seolah-olah kelenjar itu adalah
benda asing yang tidak diinginkan.
Itu
mengingatkan saya pada masalah kerohanian yang dihadapi umat Allah.
Mereka seharusnya dapat menangis, tetapi tidak dapat. Mereka seharusnya
belajar dari apa yang dimaksudkan Yesus ketika Dia berkata,
"Berbahagialah orang yang berdukacita" (Matius 5:4).
Kadang kala kita berpikir bahwa air mata menandakan kelemahan. Namun, jika benar demikian, mengapa Yesus menangis? (Lukas 19:41). Mengapa Yakobus minta orang-orang kristiani supaya menangisi dosa- dosa mereka? (Yakobus 4:9).
Ya, setiap orang memiliki cara berbeda-beda dalam mengekspresikan
emosi. Namun air mata, dalam arti sebenarnya, bukanlah pokok
permasalahan yang sesungguhnya. Yang terpenting adalah sikap hati.
Seberapa dalamkah kita merasakan dampak dari dosa kita. Apakah kita
benar-benar merasa sedih secara rohani? Apakah kita menderita melihat
konsekuensi tragis yang ditimbulkan oleh dosa kita dalam relasi kita
dengan orang lain? Yang saya maksudkan bukanlah menunjukkan kesedihan
pura-pura, tetapi apakah kita juga merasakan kesedihan yang sama dengan
yang dirasakan Allah terhadap kejahatan? Apakah kita bersedia
mengubahnya? Ataukah air mata kita juga sudah kering? –Mart De Haan II
Tidak ada komentar:
Posting Komentar