Allah tertarik untuk menciptakan hati seorang petani. Seorang petani menyiapkan tanah, membajaknya, dan menanaminya, mengawasi dengan seksama, dan mencari cara untuk melindungi apa yang telah ia tanam, tetapi ia menaruh percaya penuh kepada Allah akan hasil panen yang berlimpah pada waktunya.
Apabila ia tidak melihat hasil yang memuaskan pada waktu yang diharapkannya, ia tahu bahwa pada musimnya, hasil yang memuaskan akan ia terima.
Apabila ia menggigil kedinginan, diguyur hujan, diterjang badai dan kekeringan, ia terus saja bertani, karena ia memiliki hati seorang petani.
Banyak ora membicarakan mengenai janji “hasil berlipat ganda sampai seratus kali lipat”. Kebenarannya adalah, tidak setiap petani menerima hasil berlipat ganda seperti itu.
Seringkali kita mengalami cobaan, ujian, dan kesukaran yang nyaris membuat kita putus asa, sementara kita tetap meneruskan untuk setia kepada Tuhan. Tetapi, kita juga harus memahami bahwa semua yang kita miliki adalah milik Allah dan kita hanyalah pengurus-pengurusnya.
Sepasti pengharapan seorang petani akan datangnya masa panen dan ia yakin bahwa masa itu akan tiba pada waktunya, demikianlah juga pengharapan itu adalah penting.
Tetapi fokusnya tidak terletak pada hal itu. Seharusnya kita tidak memikirkan diri sendiri, tetapi justru memahami nilai dari memberi dan berbagi supaya kita hidup seperti sungai.
“Kita harus merasa seperti sungai. Betapa pun besarnya yang kita berikan, kita tidak pernah kekurangan; betapa pun besarnya yang kita terima, kita tidak pernah kelebihan.”
Apa yang kita terima, kita salurkan menjadi alat bagi Allah. Dengan demikian kita dapat senantiasa menyalurkan apa yang Tuhan berikan bagi kita, menjadi alat dan ungkapan kasih Allah kepada sesama kita.
“Berilah dan kamu akan diberi: suatu takaran yang baik, yang dipadatkan, yang digoncang dan yang tumpah keluar akan dicurahkan ke dalam ribaanmu. Sebab ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu.” (Luk 6: 38)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar